Menelisik Mereka Yang Tertutup
- discereplusid
- May 18, 2021
- 4 min read
Siapa yang tidak mengenal Korea Utara, sebuah negara di Asia Timur dengan jumlah populasi mencapai 25,67 juta jiwa ini dikenal sebagai negara yang tertutup. Memiliki paham komunis membuat negara ini cukup ditakuti terutama dalam kemampuan tempur, tetapi dibalik itu semua Korea Utara memiliki keunikan yang jarang ditemukan di negara lain.
Ketatnya aturan yang ada membuat negara ini cukup membuat para wisatawan untuk berpikir dua kali untuk mengunjunginya, tidak seperti negara lain yang dimana wisatawan asing bebas untuk melakukan kunjungan wisata kemana saja. Wisatawan asing yang berkunjung di Korea Utara cukup diawasi dan dibatasi dalam melakukan kegiatan selama kunjungan, seperti tidak boleh memotret sembarangan bahkan dicurigai sebagai mata-mata.
Meski memiliki pandangan yang buruk di mata wisatawan asing, Korea Utara masih menjadi pilihan bagi sebagian wisatawan yang tertarik untuk merasakan tinggal di negara komunis yang memiliki aturan super ketat tersebut. Keindahan negara yang dipimpin Kim Jong Un tersebut telah memikat seorang wartawan asal Indonesia untuk mengabadikan setiap kegiatan humanistik lewat sebuah bingkai foto, banyak hal yang menarik perjalanannya selama berada di negara itu.
Hal itu diabadikan lewat sebuah buku foto dengan judul Jejak Mata Pyongyang. Sebuah buku yang menceritakan kehidupan sehari-hari masyarakat ibu kota Pyongyang, Korea Utara serta beberapa daerah di sekitarnya. Buku ini dibuat saat ia melakukan perjalanan untuk menghadiri sebuah festival film di Korea Utara. Mencatat serta memotret setiap kegiatan masyarakat Korea Utara yang hidup dengan keseragaman masyarakat yang sengaja diciptakan oleh pemimpin dari negara ini, doktrin mengenai kekuasaan pemimpin negara ini dapat ditemukan di setiap sudut kota.
Banyak hal yang dibuat-buat sehingga menciptakan propaganda tentang kekuasan Kim Jong Un dalam memimpin Korea Utara, akses informasi dan internet yang dibatasi membuat warganya tidak mengetahui hal yang sebenarnya terjadi. Semua kisah mengenai kehidupan Korea Utara dituliskan oleh wartawan ini sebagai catatan perjalanan yang cukup menarik, penggabungan fotografi dan penulisan membuat buku tersebut semakin terasa hidup.
Seno Gumira Ajidarma

“Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak merubah apa-apa. Lagipula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa pernah mendengar kata-kata orang lain.”
Sepenggal kalimat dari sebuah buku yang kerap kali digunakan oleh pujangga cinta dalam merayu sang tambatan hati untuk mengungkapkan perasaannya, kalimat sederhana sehangat senja itu tercipta lewat tulisan seorang pria sastrawan yang sudah melegenda di Indonesia. Seno Gumira Ajidarma atau yang dikenal dengan Mira Santo seorang wartawan, cerpenis sekaligus seorang dosen di Universitas Gadjah Mada yang cukup dikenal dalam dunia sastra di Indonesia pria berusia 62 tahun tersebut lahir di Boston, Amerika Serikat pada 19 Juni 1958 namun dibesarkan di Yogyakarta.
Pada 1977 pindah ke Jakarta dan berkuliah di Departemen Sinematografi Lembaga Kesenian Jakarta atau yang sekarang dikenal sebagai Institut Kesenian Jakarta dan juga sempat menjadi wartawan lepas di surat kabar Merdeka pada tahun yang sama. Memasuki usia 17 tahun, ia bergabung dengan kelompok teater yang bernama Teater Alam yang dikepalai oleh Azwar A.N. Selama dua tahun menjadi anggota, Seno banyak menulis puisi maupun cerpen yang kemudian dikirim ke media cetak. Untuk terus mengasah jiwa kreatifnya, ia memilih untuk menjadi seorang wartawan di beberapa media cetak di Indonesia, beberapa media yang pernah ia masuki diantaranya Harian Merdeka, Majalah Kampus Cikini, Jakarta-Jakarta. ia juga pernah menjadi pemimpin redaksi di Sinema Indonesia dan menjadi redaktur di majalah mingguan Zaman.
Banyak karya yang cukup dikenal oleh masyarakat Indonesia, tidak hanya novel Seno juga menulis banyak cerpen, puisi, dan esaai selama ia berkarya dalam dunia sastra. Beberapa diantaranya adalah Mati Mati Mati (1975), Catatan-catatan Mira Sato (1978), Matinya Seorang Penari Telanjang (2000), Sepotong Senja Untuk Pacarku (2003) dan beberapa karya lainnya.
Potret mereka yang Tertutup

Jejak Mata Pyongyang besutan Seno Gumira Ajidarma dengan cover yang menampilkan sebuah stasiun kereta api di pusat kota Pyongyang menampilkan kegiatan masyarakat di negeri komunis itu sehari-harinya. Buku tersebut ia tulis saat lawatannya sebagai juri di salah satu festival film yang sedang diselenggarakan di Korea Utara. Menampilkan foto-foto hitam putih serta esai singkat tentang buah pikirnya yang sudah lama mengendap selama 10 tahun, foto serta esai yang ditampilkan membuat kesan Melodrama yang dapat menggambarkan keadaan negara komunis itu.
Kematian Kim Jong II menjadi awal keberanian pria berumur 62 tahun itu dalam menggambarkan Korea Utara, kunjungannya menjadi sebuah pengalaman yang tidak pernah terlupakan. Beberapa foto serta esai yang ditampilkan dalam Jejak Mata Pyongyang menjadi sebuah karya yang menarik untuk baca, terlebih lagi dengan gaya penulisan ciri khas Seno yang membuat pembaca bisa merasakan foto yang hidup. Sebuah keceriaan yang palsu dapat dirasakan lewat foto hitam putih, ketidakbebasan tergambar jelas lewat foto-foto yang ditampilkan. Meski menjadi tamu, Seno merasa setiap aktivitasnya sangat diawasi mulai dari hotel yang dibuat seolah-seolah memang untuk mengisolasi tamu hingga selalu ditempel oleh orang asing.
Kesan ketidakbebasan tergambarkan jelas lewat pakaian sehari-hari masyarakat Pyongyang, pakaian yang mereka gunakan selalu hitam putih dengan lengan pendek kecuali mereka para penari dan penyambut tamu yang dibebaskan untuk menggunakan warna yang beragam. Setiap sudut kota menampilkan gaya yang artistik untuk menampilkan gaya komunis yang baru, meski tidak melarang untuk mem fotonya tetapi Seno selalu diperingatkan untuk tidak memfoto wajah penduduk Korea Utara.
Lewat Jejak Mata Pyongyang, Seno menggambarkan wajah Korea Utara yang penuh dengan doktrin serta mengagungkan Kim II Sung sebagai pemimpin abadi. Buku ini baru ditulis setelah 10 tahun kemudian dan kenangan yang sudah memudar, Seno sendiri mengungkapkan masih banyak hal yang menarik dari Korea Utara yang belum ia ceritakan dalam Jejak Mata Pyongyang.
Saat ini banyak orang yang mudah percaya dengan kata orang lain walaupun mereka belum melihat atau merasakan langsung. Dari buku Jejak Mata Pyongyang, Seno ingin menyampaikan caranya dalam memandang Korea Utara. Korea Utara memiliki aturan yang ketat, dikenal sebagai negara yang tertutup, dan sering dipandang sebelah mata oleh masyarakat lain tetapi dalam buku tersebut Seno melihat bahwa warga negara Korea Utara memiliki hidup yang teratur dan rapi. Jadi, kita harus merubah cara pandang kita untuk sesuatu yang belum kita rasakan atau kita lihat dan jangan menelan bulat-bulat apa yang dikatakan orang lain karena kita belum membuktikannya sendiri.
***
Penulis : Hilal Rauda Fiqry
Editor : Geiska Vatikan Isdy
Sumber : badanbahasa,kemendikbud.go.id,
Foto : goodreads.com, britishcouncil.id
Comments